SholehShare | BLOGnya SEORANG DOKTER

A Giant Pack of Lies Bongkah Rahasia Kebohongan: Menyorot Kedigdayaan Industri Rokok di Indonesia

Rabu, 25 Juli 20120 komentar



Bedah Buku


Penulis: Mardiyah Chamim dkk
Penerbit: KOJI Communications bekerja sama dengan Tempo Institute
Cetakan: I, Desember 2011
Tebal: 183 halaman

Sudah menjadi rahasia umum bahwa kecanduan rokok menjadi masalah besar di kalangan generasi muda, sudah ada kurang lebih 60 juta pecandu rokok di Indonesia. Padahal, terdapat sekitar 599 zat yang terkandung dalam rokok yang merusak tubuh dan berefek buruk bagi kesehatan. Seperti Nicotiana tabacum (daun tembakau) yang menyebabkan perokok merasa rileks atau lebih nyaman sehingga berefek kecanduan. Tar (bahan untuk pengaspalan jalan), yang terdiri dari lebih dari 4000 bahan kimia yang mana 60 bahan kimia di antaranya bersifat karsiogenik (merusak tubuh). Karbon Monoksida, bahan kimia beracun yang ditemukan dalam asap buangan kendaraan bermotor. Radikal bebas, merupakan bahan kimia sangat reaktif yang dapat menyebabkan kerusakan otot jantung dan penyempitan pembuluh darah. Kesemuanya telah terbukti menjadi penyebab kanker, penyakit ganas yang sulit diobati.

Christof Putzel, jurnalis video untuk Vanguard, terhenyak melihat video Aldi Rizal Suganda, 3,5 tahun, di YouTube yang menjadi perokok berat. Dari kasus itulah ia terilhami untuk membuat video dokumenter Sex, Lies & Cigarettes.  Videonya mengangkat cerita bagaimana rokok tak bisa terlepas dari kebanyakan warga Indonesia, termasuk juga remaja dan anak-anak.

Kaitannya dengan itu muncul juga buku “A Giant Pack of Lies Bongkah Rahasia Kebohongan: Menyorot Kedigdayaan Industri Rokok diIndonesia” yang ditulis oleh Mardiyah Chamim dkk. Dalam buku tersebut yang terdiri dari 6 bab, yang diawali pernyataan penulis,  Mardiyah Chamim bahwa “Saya Tidak Anti Rokok”. 

Mardiyah Chamim hanya menekankan regulasi industri rokok di Indonesia supaya rokok diatur dalam koridor semestinya. Perilaku agresif industri rokok, yang menjajakan rokok seperti produk cokelat tanpa dosa harus dievaluasi, dikritik dan diperbaiki dengan menempatkan kepentingan publik sebagai pertimbangan utama. 

Seperti nasib buruh linting yang ternyata memiliki upah dibawah upah buruh yang lain dan petani tembakau yang harga panennya dipermainkan seenaknya oleh para tengkulak atau cukong tembakau. Piramida industri rokok teramat runcing, aliran keuntungan hanya membanjiri segelintir juragan-juragan yang menjadi langganan daftar orang kaya sedunia versi majalah forbes, seperti Rahman Halim (pemilik Gudang Garam) dan Budi Hartono (pemilik Djarum). 

Dalam liputan karya Aditya Wardana (wartawan VHR.Media.com) yang berjudul “Nasib Sang Pelinting”. Dua ratus buruh di pabrik rokok Pakis Mas, Malang, Jawa Timur harus tiba didepan pintu gerbang pabrik pada pukul 05.30 pagi. Mereka harus mengantri pembagian bahan baku yang merupakan lapis pertama survival of the fittest buruh pabrik rokok. “Antre mas, biar dapat jatah bahan baku banyak,” kata Ana, seorang buruh. Mereka yang berada paling dekat dengan meja mandor berpeluang mendapatkan jatah lintingan lebih banyak.

Di Pakis Mas, setiap buruh diberi jatah melinting 2.500 batang rokok sehari, dengan upah Rp. 9000 untuk setiap 1.000 batang. Saban minggu Ana mengantongi upah Rp. 135.000, atau sekitar Rp. 540.000 per bulan. Angka ini jauh dibawah upah minimum regional Kabupaten Malang yang mencapai Rp. 802.000. Upah itu hanya bisa diraih jika Ana bekerja saban hari, tak boleh absen gara-gara sakit, apalagi membolos tanpa alasan. Upah buruh linting dibayar secara borongan.”Nggak kerjo yo nggak bayaran”. Kata Ruchan, manajer pabrik. Tak bekerja, tak ada upah. Sederhana. Tunjangan kesehatan? Lupakan saja, tak usah bermimpi.

Seperti buruhnya, nasib petani tembakau tak kalah memprihatinkan. Riset Lembaga Demografi menunjukan, biaya produksi tanaman tembakau mencapai Rp. 8.386 per meter persegi lahan sekali masa tanam dan hasilnya hanya Rp. 12.448. “Jadi petani hanya untung Rp. 4000 per meter lahan untuk setiap masa tanam,” kata Abdillah.

Bagi petani tembakau, masa panen selalu disambut dengan hati berdebar. Patokan grade daun tembakau ditentukan tengkulak dan pengepul (pedagang pengumpul). Totok, petani tembakau dari Temanggung, Jawa Tengah, mengungkapkan kerisauannya. “Musim panen kayak begini, para tengkulak alias cukong tembakau pada memainkan harga seenaknya,” kata Totok.

Totok melanjutkan penuturannya dengan pahit, “Kami ini nanem tembakau dengan modal utang, mestinya harga ditentukan pemerintah, jangan seenaknya diatur oleh tengkulak.” Jika ada pengusaha yang menolak, kata Totok, pemerintah bisa memberi sanksi dengan menutup gudang penampungan tembakau milik pengusaha.”Apa pemerintah takut sama cukong?” katanya.

Petani tembakau seperti totok berada dalam posisi tak berdaya. Mereka bagai terjerat lingkaran setan. Lazimnya, modal tanam tembakau didapat dari utang. Atau, jika tidak, petani harus menjual atau menggadaikan aset keluarga. Padahal, hasil panen tidak menentu baik lantaran cuaca maupun karena permainan cukong. Bagi petani, kepastian tengkulak membeli hasil panennya merupakan persoalan hidup mati. Itu sebabnya, petani mudah dimobilisasi berdemonstrasi di Gedung DPR, Senyan, Jakarta, demi menentang RUU Pengendalian Produk Tembakau.

Dalam bab selanjutnya “Indonesia, The Last Frontier (Indonesia, Benteng Terakhir)”, tim penulis menceritakan bagaimana Indonesia mulai dilirik sebagai pasar baru setelah kekalahan industri rokok di negara maju akibat regulasi yang kuat. Sebagai contoh di Amerika Serikat, jumlah perokok berkurang signifikan sejak tahun 1960-an. Harga satu pak rokok pun dibanderol mahal, yaitu USD12,99 atau nyaris setara dengan Rp120 ribu. 

Selain itu beberapa peraturan yang harus dipatuhi industri rokok seperti pembatasan iklan rokok, regulasi tentang sponsorship dari rokok, label kemasan rokok yang diberi gambar pada 50% kemasannya, dan lain sebagainya menimbulkan industri rokok di negara maju mengalami kebangkrutan. Karena hal itu produsen rokok Internasional mencari jalan keluar dengan cara menjual barang dagangannya ke negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Seperti  masuknya dua raksasa rokok dunia ke Indonesia. Philips Morris mencaplok Sampoerna (2005), sementara British American Tobacco mengakuisisi Bentoel (2009). Upaya produsen rokok berhasil karena lemahnya kekuatan regulasi di Indonesia. Angka pecandu rokok terus meningkat tiap tahun. Pada 1995 prevalensi perokok dewasa baru sebesar 27 persen. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar pada 2010, angka itu naik menjadi 34,7 persen.

Produsen rokok nasional maupun internasional di Indonesia punya jurus jitu untuk meraup keuntungan yang besar yaitu dengan cara “Mendera kaum muda”. 

Pernah lihat iklan rokok luar negeri ternama yang memperlihatkan sosok seorang koboi? 

Wayne McLaren dalam iklan itu terlihat gagah, pemberani, dan keren. Tragis, Wayne meninggal karena kanker paru di usia 52 tahun. Contoh lain, bekas pemilik produsen rokok terbesar Indonesia, Budi Sampoerna. Ia meninggal karena kanker mulut dan tenggorokan pada usia 78 tahun. Sayangnya, generasi muda keburu tergoda oleh citra yang diberikan dari merokok. Selain itu, iklan rokok memperlihatkan citra bahwa Anda berjiwa sosial tinggi, independen, petualang, seksi tapi tidak paham efek merokok yang menghancurkan dan membunuh dalam waktu lama.

Mengapa kaum muda? 

Anak muda subyek paling menarik bagi industri rokok. Menurut riset Kenyon & Eckhard, ada dua alasan yang mendorong anak muda merokok, seperti kita tahu masa muda (remaja) adalah masa labil (peralihan) dimana seseorang masih mencari jati dirinya, sangat ingin memberontak dari pagar yang ditentukan orang tua. Niat memberontak bakal lebih kuat bila ayah-ibu melarang si anak untuk merokok, padahal mereka sendiri perokok berat. 

Faktor lain, remaja tanggung ingin sekali merasa terkait dengan aktivitas fisik yang menantang. Agaknya, berani merokok merupakan tantangan tersendiri bagi mereka. Alasan lain anak-anak muda merokok adalah karena supaya kelihatan jiwa sosialnya tinggi, memilki loyalitas pertemanan yang kompak, atau karena tekanan dari teman-teman sebayanya. 

Berulang kali, responden mengisahkan fakta pada saat itu, sebagian besar teman mereka adalah perokok, dan jika ada yang tidak merokok maka dia akan menjadi bahan olokan. Tak sedikit yang pernah dijuluki “banci” lantaran tidak merokok. Dalam kaitan ini, menarik untuk dicatat bahwa merokok adalah perilaku grup, sedikit sekali yang ingat pada saat itu (masa sekolah) pernah merokok saat sendirian.

Didalam dokumen Philip Morris International, tertera “anak muda sekarang lebih bereaksi terhadap musik ketimbang terhadap media cetak. Musik adalah bahasa mereka, sumber ide dan tren anak muda”. Maka dalam hal ini kita tidak heran lagi, banyak acara musik baik dari lokal maupun mancanegara disponsori oleh para produsen rokok.  

PT Djarum dan PT HM Sampoerna misalnya, sudah ribuan kali menggelar konser musik dengan melibatkan artis dan musisi dari berbagai belahan dunia. Akhir tahun lalu misalnya, musisi jazz George Benson menggelar konser di Jakarta dengan sponsor PT Djarum

Aktivis penggendalian rokok di Amerika Serikat menanggapi konser Benson dengan petisi online,”Tell George Not To Spread Tobacco Addiction in Indonesia”. Tapi petisi tinggal petisi. Konser George Benson tetap dipadati pengunjung plus papan dan spanduk Djarum yang berkibar.  Selain itu produsen rokok juga sering sekali menyelenggarakan ajang pencarian bakat yang rata-rata melalui musik. Djarum LA Light contohnya, sering manjadi sponsor festival band indie yang sebagian besar pesertanya murid SMP dan SMA.

Di dalam buku ini juga diungkapkan “misteri hilangnya ayat tembakau”. Skandal hilangnya ayat dalam undang-undang kesehatan yang menunjuk tembakau dan produk tembakau sebagai zat adiktif belum selesai. Koalisi Antikorupsi Ayat Rokok menuntut para pelaku penghilangan ayat itu tetap harus dihukum, kendati “ayat yang hilang” itu sudah ditemukan kembali. 

Koalisi menunjuk Ketua Komisi Kesehatan DPR Ribka Tjiptaning sebagai salah satu otak dibelakang hilangnya ayat itu. Adapun Ribka balik mengadukan koordinator Koalisi, Kartono Mohammad, dan satu pengurusnya, Hakim Sorimuda Pohan, ke polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik.

Tahun 2000 UU Kesehatan diusulkan untuk direvisi. Tahun 2004 Presiden Megawati Soekarnoputri tidak menandatangani revisi Undang-Undang Kesehatan. DPR periode 2004-2009 kembali membahas revisi UU Kesehatan. Tahun 2008 Pembahasan Rancangan UU Kesehatan mengusulkan memasukan ayat tembakau. 

11 September 2009, Pertemuan  di ruang kerja Ketua Komisi Kesehatan DPR, Ribka, Faiq Bahfen, dan Budi Sampoerna memutuskan pasal 113 ayat 2 dihilangkan. Ayat 3 menjadi ayat 2. 

14 September 2009, Rapat Paripurna DPR mengesahkan UU Kesehatan. 

15 September 2009, Anggota staf Sekretariat Komisi Kesehatan DPR mengatakan kepada Kartono Mohammad, pasal 113 hanya ada 2 ayat. 

16 September 2009, UU Kesehatan tanpa ayat tembakau dikirim ke sekretariat negara. 

29 September 2009, Hakim Sorimuda Pohan mengirim surat ke Ketua Komisi Kesehatan DPR dan Ketua DPR agar ayat yang hilang dikembalikan. 

13 Oktober 2009, Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa mengembalikan UU Kesehatan ke DPR agar ayat tembakau dikembalikan. Pada hari yang sama Ketua Komisi Kesehatan DPR Departemen Hukum dan HAM dan Departemen Kesehatan menandatangani dokumen yang menjelaskan pasal 113 ayat 2 disetujui sebagai ayat baru. 

13 November 2009, UU Kesehatan ditandatangani Presiden. Tanggal 24 November Ribka diadukan ke Badan Kehormatan DPR. 

9 Maret 2010 Ketua DPR Kab. Temanggung Bambang Sukarno mengajukan judical review ayat tembakau ke Mahkamah Konstitusi. 

18 Maret 2010, Koalisi Anti Korupsi Ayat Rokok melaporkan Ribka, Aisyah dan Mariani ke Mabes Polri. 

7 September 2010, Gelar perkara menyatakan Ribka dan dua temannya disebut sebagai tersangka. 

24 September 2010, Ribka, Aisyah, dan Mariani melaporkan Hakim dan Kartono Mohammad ke Badan Reserse Kriminal Polri dengan tuduhan pencemaran nama baik.

Pasal 113 ayat 2 yang hilang itu berbunyi,”Zat adiktif, sebagaimana dimaksud pada ayat 1, meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan atau masyarakat sekelilingnya.”

Pro Ayat Tembakau :
Kartono Mohammad (Koordinator Koalisi Anti Korupsi Ayat Rokok),”Tembakau dinyatakan zat adiktif itu jiwa UU Kesehatan itu. Kalau sampai hilang, gawat.”

Kontra Ayat Tembakau :
Nurtanto Wisnu Broto (Ketua Asosiasi Petani Tembakau Jateng),”UU Kesehatan ini hanya mengakomodasi kesehatan, sedangkan kepentingan petani dilupakan.”

Bambang Sukarno (Ketua DPRD Kab. Temanggung, Jateng),”Undang-undang ini diskriminatif. Kenapa hanya tembakau yang disebutkan zat adiktif?.”

7 Mitos Pengendalian Tembakau
Di buku ini, Felix Lamuri mengatakan bahwa dengan dana kampanye yang hampir tidak terbatas, industri rokok dengan lihainya memutarbalikkan fakta dan logika untuk merebut simpati publik sekaligus memojokkan kampanye pengendalian konsumsi tembakau. 
Tujuh mitos yang sering digembar-gemborkan adalah:

1. Mitos: Tembakau adalah tanaman khas Indonesia - sebenarnya tembakau dikembangkan secara komersial di Indonesia oleh pemerintah kolonial Belanda. Tanaman tembakau sebenarnya berasal dari Amerika Latin.

2. Mitos:  Merokok adalah hak individu - prinsip utama hak asasi adalah tidak mengurangi, apalagi menghilangkan kebutuhan individu atau kelompok lain yang bersifat universal (misalnya hak atas udara yang sehat)

3. Mitos:  Ekonomi hancur jika pengendalian tembakau diterapkan - diukur dari penghasilan devisa, tembakau menempati posisi paling buncit dibandingkan dengan komoditas pertanian lain. Kebutuhan tembakau nasional juga jauh di atas jumlah produksi, sehingga tidak akan ada masalah.

4. Mitos:  Publik sudah dewasa, tidak perlu pengaturan - justru negara-negara yang masyarakatnya lebih modern malah aktif dan sudah ikut meratifikasi konvensi internasional pengendalian tembakau.

5. Mitos:  Rokok dikendalikan, media gulung tikar - media yang berhenti menerima iklan rokok bisa tetap terus bertahan hidup.

6. Mitos:  Dunia olahraga, seni budaya, dan pendidikan tergantung industri rokok - banyak event olahraga dan seni budaya yang bisa tetap berlangsung meski tidak disponsori oleh rokok. Pemberian beasiswa rokok justru membuat generasi masa depan berhutang budi pada rokok.

7. Mitos:  Pengendalian tembakau cuma akal-akalan pihak asing untuk menguasai pasar - justru yang menggagas pengendalian tembakau adalah negara berkembang.

Devide et Impera di Zaman Milenium

Sebagai penutup, penulis buku ini menyampaikan bahwa teknik yang digunakan oleh industri rokok untuk memelintir isu pengendalian tembakau ini adalah sejenis devide et impera. Seolah-olah, mereka yang menginginkan adanya pengendalian tembakau adalah ancaman bagi penduduk negara ini. Sementara itu, industri rokok terus untung sembari menonton kita yang jadi saling berseberangan satu sama lain.

BILA INGIN MEMILIKI BUKU INI BISA MEN-DOWNLOAD DISINI, VERSI PDF NYA (13,6 Mb):

  1. LINK UTAMA: DOWNLOAD 
  2. LINK ALTERNATIF:  DOWNLOAD


Film Dokumenter Betapa Rokok Tidak Terlepas Dari Kehidupan Masyarakat Indonesia
Share this article :
 
Support By : SholehShare | BLOGnya SEORANG DOKTER | SholehShare
Copyright © 2011. SholehShare - All Rights Reserved